VIEW

Page Nav

HIDE
Hide

Breaking News:

latest

Ads

test banner

Komunitas Pasien Cuci Darah IndonesiaPetrus Hariyanto, penulis buku ini, bukan hanya dikenal sebagai ”Sekjen PRD” oleh para aktivis Reformasi ’98, tetapi juga ”Sekjen KPCDI” sejak pertama kali KPCDI berdiri tahun 2015

Sekitar akhir bulan Juli, awak media beberapa kali memberitakan kasus gangguan ginjal pada anak hingga harus menjalani cuci dara...

Sekitar akhir bulan Juli, awak media beberapa kali memberitakan kasus gangguan ginjal pada anak hingga harus menjalani cuci darah (hemodialisis). Kasus ini banyak ditemukan di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Belum terpantau perkembangan terkini kondisi pasien cuci darah di seluruh Tanah Air. Yang pasti, gagal ginjal masuk kategori penyakit yang menyebabkan kematian tertinggi.

Pada masa pandemi Covid-19 lalu, pasien gagal ginjal masuk golongan penduduk yang rentan terpapar virus mematikan itu. Jangankan pasien gagal ginjal, bagi orang sehat sekalipun, pandemi menebarkan suasana ”horor”, menakutkan, dan meneror siapa saja. Apalagi bagi para pasien cuci darah.

Menurut Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri), selama pandemi, pasien cuci darah yang meninggal di atas 50.000 orang. Bukan angka sedikit tentu saja, dan ini sebuah bencana kesehatan.

Di balik hal-hal kuantitatif dan makro itu, ada banyak kisah pilu, tapi juga pergulatan untuk bertahan hidup para pasien cuci darah yang menguras segala-galanya, juga air mata. Tak terkecuali anggota keluarga, kerabat, teman, atau siapa pun yang berada di sekitar pasien cuci darah, yang setia mendampingi mereka.Buku Kami Menolak Menyerah karya Petrus Haryanto (Relasi Inti Media, 2024) ini bukan sekadar ingin berbagi kisah sedih pasien cuci darah. Lebih dari itu, buku ini ingin mengangkat perjuangan bagaimana pasien menolak menyerah, terus bertahan, bahkan saling menyemangati. Kisah sedih menjadi kisah inspiratif untuk siapa saja.

Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia
Petrus Hariyanto, penulis buku ini, bukan hanya dikenal sebagai ”Sekjen PRD” oleh para aktivis Reformasi ’98, tetapi juga ”Sekjen KPCDI” sejak pertama kali KPCDI berdiri tahun 2015. KPCDI singkatan dari Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia. Berbeda dengan banyak organisasi atau komunitas yang ada, KPCDI didirikan oleh sejumlah pasien cuci darah dan penyintas gagal ginjal.

Siapa menyangka bahwa menjelang usia ke-10, KPCDI tetap eksis, bahkan makin besar, memiliki sejumlah cabang di beberapa kota di berbagai provinsi (hlm 99).

Meski setiap kali beredar kabar satu per satu, baik pengurus KPCDI pusat maupun cabang, meninggal dunia, hal itu tak menyurutkan semangat dan dedikasi para pengurus lainnya. Rasa kebersamaan, saling membantu, dan semangat partisipasi pengurus dan anggota telah terjalin kuat. Jika berkumpul, tak tampak bahwa mereka para pasien cuci darah.logo Kompas.id



Opini›Terus Berjuang, Menolak...

Pasien Cuci Darah
Terus Berjuang, Menolak Menyerah
Meski 11 tahun menjadi pasien cuci darah, tiga kali seminggu terapi, Petrus Hariyanto dan kawan-kawan menolak menyerah.



YOHANES KRISNAWAN
-

Sekitar akhir bulan Juli, harian Kompas beberapa kali memberitakan kasus gangguan ginjal pada anak hingga harus menjalani cuci darah (hemodialisis). Kasus ini banyak ditemukan di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Belum terpantau perkembangan terkini kondisi pasien cuci darah di seluruh Tanah Air. Yang pasti, gagal ginjal masuk kategori penyakit yang menyebabkan kematian tertinggi.

Pada masa pandemi Covid-19 lalu, pasien gagal ginjal masuk golongan penduduk yang rentan terpapar virus mematikan itu. Jangankan pasien gagal ginjal, bagi orang sehat sekalipun, pandemi menebarkan suasana ”horor”, menakutkan, dan meneror siapa saja. Apalagi bagi para pasien cuci darah.

Menurut Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri), selama pandemi, pasien cuci darah yang meninggal di atas 50.000 orang. Bukan angka sedikit tentu saja, dan ini sebuah bencana kesehatan.

Di balik hal-hal kuantitatif dan makro itu, ada banyak kisah pilu, tapi juga pergulatan untuk bertahan hidup para pasien cuci darah yang menguras segala-galanya, juga air mata. Tak terkecuali anggota keluarga, kerabat, teman, atau siapa pun yang berada di sekitar pasien cuci darah, yang setia mendampingi mereka.

Aimma menyadari kematian adalah kepastian, keniscayaan yang harus dialami setiap manusia.

Buku Kami Menolak Menyerah karya Petrus Haryanto (Relasi Inti Media, 2024) ini bukan sekadar ingin berbagi kisah sedih pasien cuci darah. Lebih dari itu, buku ini ingin mengangkat perjuangan bagaimana pasien menolak menyerah, terus bertahan, bahkan saling menyemangati. Kisah sedih menjadi kisah inspiratif untuk siapa saja.

Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia
Petrus Hariyanto, penulis buku ini, bukan hanya dikenal sebagai ”Sekjen PRD” oleh para aktivis Reformasi ’98, tetapi juga ”Sekjen KPCDI” sejak pertama kali KPCDI berdiri tahun 2015. KPCDI singkatan dari Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia. Berbeda dengan banyak organisasi atau komunitas yang ada, KPCDI didirikan oleh sejumlah pasien cuci darah dan penyintas gagal ginjal.

Siapa menyangka bahwa menjelang usia ke-10, KPCDI tetap eksis, bahkan makin besar, memiliki sejumlah cabang di beberapa kota di berbagai provinsi (hlm 99).

Meski setiap kali beredar kabar satu per satu, baik pengurus KPCDI pusat maupun cabang, meninggal dunia, hal itu tak menyurutkan semangat dan dedikasi para pengurus lainnya. Rasa kebersamaan, saling membantu, dan semangat partisipasi pengurus dan anggota telah terjalin kuat. Jika berkumpul, tak tampak bahwa mereka para pasien cuci darah.

Aktivis 1998 Petrus Hariyanto berfoto di depan Lukisan bergambar seniman Widji Thukul dengan salah satu penggalan syairnya yang ditampilkan pada Peringatan 26 Tahun Reformasi di Jalan Diponegoro Nomor  27, Jakarta, Selasa (21/5/2024).  
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Aktivis 1998 Petrus Hariyanto berfoto di depan Lukisan bergambar seniman Widji Thukul dengan salah satu penggalan syairnya yang ditampilkan pada Peringatan 26 Tahun Reformasi di Jalan Diponegoro Nomor 27, Jakarta, Selasa (21/5/2024).

Perpres akal-akalan
Buku ini menghimpun 22 tulisan ”Pak Sekjen” Petrus Haryanto tentang sejumlah sosok yang penuh inspirasi. Sejumlah tulisan tentang berdirinya KPCDI serta kiprah organisasi tersebut dalam memperjuangkan hak-hak pasien gagal ginjal dalam ranah kebijakan publik, seperti yang diceritakan Petrus dalam tulisan ”Melawan Sebaik-baiknya, Sehormat-hormatnya” (hlm 87).

Dalam bagian ini, Petrus membagikan catatannya tentang perjuangan KPCDI menggugat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 34 Ayat 1 dan 2. Perpres tersebut mengatur tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar seratus persen. Uji materi perpres yang diajukan KPCDI dikabulkan Mahkamah Agung (MA).

Publik mengapresiasi buah perjuangan KPCDI. Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan, pemerintah mematuhi putusan MA yang membatalkan kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan (hlm 89).

Rakyat menikmati turunnya tarif iuran BPJS Kesehatan pada April 2020. Sayang hanya sebulan, pada Mei 2020 melalui Perpres Nomor 64 Tahun 2020, iuran BPJS dinaikkan kembali walau tidak seratus persen.Petrus dan rekan-rekan KPCDI kecewa pada putusan MA yang memenangkan perpres baru itu. ”Akhirnya kami melihat MA membuat akal-akalan juga. Sebuah kenyataan bahwa lembaga yudikatif kita begitu buruk. Tidak ada kepastian hukum. Dan yang paling urgen, di luar pembicaraan substansi uji materi itu sendiri, dengan tidak adanya pembatasan, pemerintah bisa setiap kalah dalam proses uji materi di MA akan membuat perpres baru lagi, dengan perbaikan yang sifatnya akal-akalan,” tulis Petrus (hlm 97).

Buku ini tidak hanya mencatat perjuangan para penderita pasien cuci darah bagaimana bisa terus melanjutkan hidup mereka, tetapi juga bagaimana bergerak melampaui ”rasa sakit” dan keterbatasan diri. Berjuang bagi kehidupan bersama, khususnya bagi mereka yang miskin dan lemah, agar mendapat hak-hak mereka yang layak dan adil dari negara. Terutama kualitas pelayanan kesehatan.Berjuang untuk sesama
Baca saja kisah tentang Imma Yuliana Siahaan atau Aimma, pasien gagal ginjal, yang memimpin KPCDI Cabang Medan. Perempuan pengagum Bunda Teresa ini tidak akan tinggal diam jika menemui pasien cuci darah yang diperlakukan tidak semestinya oleh rumah sakit. Juga jika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tidak adil dan merugikan pasien cuci darah. Imma akan berdiri di depan membela pasien dan menyuarakan protes.

Petrus menulis sosok Imma dalam tulisan ”Pejuang Gagal Ginjal itu Gigih Memperjuangkan Nasib Sesama”. Sosok pasien cuci darah yang tidak hanya berjuang mengatasi penderitaan fisik, tetapi juga penderitaan psikis atau mental. Hingga akhirnya Imma mampu bangkit dari keterpurukan, dan memutuskan membuang semua amarah dan menjalani hidup dengan damai, meski menghadapi berbagai masalah.

Imma menemukan keberanian berserah pada keadaan, dan baginya hal itu menjadi kunci untuk menemukan kedamaian dalam perjalanan hidup yang tidak selalu mudah, penuh liku, dan ujian.

Tentang sosok Aimma ini, Petrus menulis dengan indah, ”… Aimma menyadari kematian adalah kepastian, keniscayaan yang harus dialami setiap manusia. Yang membedakan adalah waktu dan prosesnya. Sebelum dipanggil oleh Sang Pencipta, ia percaya bahwa penting bagi dirinya untuk berkarya dan banyak berbuat amal kebaikan. Meski dihadapkan gagal ginjal, Aimma menyatakan kehidupan harus tetap berjalan. Gagal ginjal bukanlah titik akhir dari segalanya. Ia dengan tegas menolak anggapan bahwa kondisinya tersebut menghentikan kemampuan untuk berkarya dan menolong sesama… (hlm 161-175).

Saya merasa semangat yang sama ada dalam diri Petrus Haryanto, yang meski telah 11 tahun menjadi pasien cuci darah, tiga kali seminggu cuci darah , terus menolak menyerah. Tetap berjuang untuk sesama, juga bagi tegaknya demokrasi dan keadilan sosial di atas tanah air yang dicintainya.

Yohanes Krisnawan

Data Buku

Judul: Kami Menolak Menyerah

Penulis: Petrus Hariyanto

Penerbit : Relasi Inti Media, Yogyakarta

Tahun terbit: Cetakan I, 2024

Tebal buku: xiv + 212 halaman

Tidak ada komentar

Terbaru

test banner